BREAKING NEWS

 


Penyidik Polres Takalar Diduga Tak Pahami UU Pers: Profesionalisme Aparat Dipertanyakan dalam Kasus Kekerasan Wartawan!

PENAJURNALIS.MY.ID, TAKALAR -Dugaan ketidakprofesionalan penyidik Polres Takalar dalam menerapkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers terhadap kasus kekerasan wartawan kembali menjadi sorotan tajam publik. Kasus yang menimpa Wahid Dg Rani, jurnalis Media Armada, kini mencuat ke permukaan sebagai bukti nyata lemahnya pemahaman aparat penegak hukum terhadap regulasi yang menjamin kebebasan dan perlindungan profesi jurnalis di Indonesia.

Peristiwa bermula saat Wahid Dg Rani tengah melakukan tugas peliputan proyek pengerukan saluran air tersier di Lingkungan Tana-Tana, Kelurahan Canrego, Kecamatan Polongbangkeng Selatan, Kabupaten Takalar, pada Minggu (28/9/2025). Saat menjalankan tugas jurnalistiknya, sebuah insiden terjadi ketika sepeda motor milik Arif Dg Jowa menabrak motor Wahid yang terparkir di lokasi kegiatan, hingga menyebabkan kerusakan pada bagian depan kendaraannya.

Namun yang memantik kemarahan publik bukan hanya insiden tersebut, melainkan cara penyidik Polres Takalar menangani laporan. Dalam proses pelaporan, penyidik disebut menolak menerapkan pasal-pasal dalam UU Pers, dengan alasan pelapor tidak memiliki sertifikat wartawan dari Dewan Pers. Pandangan ini jelas keliru dan menunjukkan minimnya profesionalisme aparat.

Padahal, Pasal 8 UU Nomor 40 Tahun 1999 secara tegas menyebutkan bahwa wartawan dalam menjalankan profesinya berhak memperoleh perlindungan hukum tanpa harus memiliki sertifikasi dari Dewan Pers. Lebih lanjut, Pasal 15 UU Pers menegaskan kewenangan Dewan Pers hanya meliputi verifikasi perusahaan pers, penyelesaian sengketa pemberitaan, dan penegakan kode etik jurnalistik, bukan menentukan status sah atau tidaknya individu wartawan.

Sikap penyidik Polres Takalar, IPDA Syarifuddin, yang dalam sambungan telepon WhatsApp menyatakan, “kalau mau diterapkan harus dilengkapi sertifikasinya,” dinilai sebagai bentuk kesalahan fatal dalam memahami UU Pers. Sebab, legalitas seorang wartawan dibuktikan melalui surat tugas, kartu pers, serta pengesahan redaksi tempatnya bekerja, bukan sertifikasi dari Dewan Pers.

Berdasarkan Nota Kesepahaman (MoU) antara Dewan Pers dan Polri Nomor 2/DP/MoU/II/2017 dan B/2/II/2017, koordinasi antara kedua lembaga hanya dilakukan jika kasus menyangkut produk jurnalistik atau sengketa pemberitaan, bukan tindak pidana umum seperti penganiayaan, perusakan, atau kekerasan terhadap jurnalis.

Praktik semacam ini menunjukkan adanya krisis pemahaman aparat terhadap hukum pers, yang dapat mengancam kebebasan pers di daerah. Publik menilai, jika aparat penegak hukum tidak memahami dasar perlindungan profesi wartawan, maka UU Pers hanya akan menjadi simbol tanpa makna keadilan.

Kasus ini menjadi cermin buram penegakan hukum di Takalar — di mana jurnalis yang mestinya dilindungi oleh undang-undang, justru harus berhadapan dengan aparat yang abai terhadap regulasi yang seharusnya mereka tegakkan.


(**)
Berita Terbaru
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image